Senin, 01 Januari 2018

Berpikir Kritis

Saat ini, para psikolog dan pendidik sangat tertarik mengenai berpikir kritis, meskipun il ini bukanlah suatu gagasan baru (Halpern, 2007; Moseley dkk., 2006; Sternberg, 107; Sternberg, Ruediger & Halpern, 2007). Pendidik terkenal, John Dewey (1933), lengajukan gagasan serupa ketika ia berbicara mengenai pentingnya membuat murid erpikir secara reflektif. Psikolog terkemuka, Max Wertheimer (1945), berbicara mengenai pentingnya berpikir secara produktif daripada hanya menebak jawaban yang benar. Berpikir kritis meliputi berpikir secara reflektif dan produktif serta mengevaluasi bukti. Banyak pertanyaan-pertanyaan “Renungan” yang muncul di setiap bagian dari buku ini, untuk mendorong berpikir kritis.

Berpikir Kritis di Sekolah

Berikut merupakan beberapa cara yang para guru gunakan untuk membangun pemikiran kritis dalam rencana pelajaran mereka:
  •  ·         Tanyakan tidak hanya apa yang terjadi, tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa.”
  • ·         Periksalah “fakta-fakta” yang dianggap benar untuk menentukan apakah terdapat bukti untuk mendukungnya.
  • ·         Berargumen dengan cara bernalar daripada menggunakan emosi.
  • ·         Kenalilah bahwa kadang-kadang terdapat lebih dari satu jawaban atau penjelasan yang bagus.
  • ·         Bandingkan beragam jawaban dari sebuah pertanyaan dan nilailah yang mana yang benar-benar merupakan jawaban yang terbaik.
  • ·    Evaluasi dan lebih baik menanyakan apa yang dikatakan orang lain daripada segera menerimanya sebagai kebenaran.
  • ·         Ajukan pertanyaan dan lakukan spekulasi lebih jauh yang telah kita ketahui untuk menciptakan ide-ide baru dan informasi baru.


Jacqueline dan Martin Brooks (1993,2001) menycsalkan bahwa hanya sedikit sekolah yang benar-benar mengajarkan murid untuk berpikir secara kritis. Dalam pandangan mereka, sekolah-sekolah menghabiskan terlalu banya  waktu untuk membuat murid membcrikan sebuah jawaban tunggal yang benar dalam cara imitative daripada mendorong murid untuk mengembangkan pemikiran mereka, dengan memberikan idc-ide baru dan memikirkan kembali kesimpulan awal. Mereka percaya bahwa terlalu sering guru meminta murid untuk mengulangi, mendefinisikan, mendeskripsikan, menyatakan, dan menuliskan daripada untuk menganalisis, menyimpulkan, menghubungkan, mengumpulkan, mengkritik, menciptakan, mengevaluasi, berpikir, dan berpikir ulang.

Sumber: John W. Santrock, Educational Psychlogy 3th Edition, New York: McGraw Hill, 2008, h. 11